Kesehatan Mental di Indonesia: Masihkah Jadi Stigma
Berita

Kesehatan Mental di Indonesia: Masihkah Jadi Stigma?

Dalam beberapa tahun terakhir, isu kesehatan mental semakin banyak dibicarakan slot deposit qris di Indonesia. Dari media sosial hingga kampanye publik, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan jiwa tampaknya meningkat. Namun, di balik meningkatnya perhatian itu, masih ada pertanyaan besar yang perlu dijawab: apakah stigma terhadap kesehatan mental di Indonesia benar-benar mulai luntur, atau justru masih mengakar kuat di masyarakat?

Pengertian dan Pentingnya Kesehatan Mental

Kesehatan mental adalah kondisi di mana seseorang mampu mengelola stres, bekerja secara produktif, dan berkontribusi kepada lingkungannya. Ini sama pentingnya dengan kesehatan fisik, bahkan keduanya saling memengaruhi. Sayangnya, di Indonesia, kesehatan mental masih sering dianggap sebagai isu sekunder atau bahkan tabu untuk dibicarakan.

Data dari Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan sekitar 12 juta mengalami depresi. Namun, sangat sedikit dari mereka yang mendapatkan bantuan profesional. Salah satu penyebab utamanya adalah stigma sosial.

Akar Stigma Kesehatan Mental

Stigma terhadap kesehatan mental di Indonesia berakar pada berbagai faktor budaya dan sosial. Banyak orang masih menganggap bahwa gangguan jiwa adalah akibat dari lemahnya iman, kurang bersyukur, atau bahkan kerasukan makhluk halus. Pemahaman seperti ini membuat penderita enggan untuk berbicara, apalagi mencari pertolongan.

Selain itu, persepsi bahwa hanya “orang gila” yang pergi ke psikolog atau psikiater masih melekat kuat. Akibatnya, banyak yang memilih untuk menyembunyikan kondisinya atau mencoba mengobatinya sendiri, seringkali dengan cara yang tidak tepat dan malah memperparah kondisi.

Media dan Representasi Sosial

Media memiliki peran besar dalam membentuk pandangan masyarakat. Sayangnya, dalam banyak sinetron atau film Indonesia, gangguan jiwa masih sering digambarkan secara berlebihan atau karikatural. Karakter yang memiliki masalah mental sering diperlihatkan sebagai sosok yang berbahaya atau tidak waras, memperkuat stereotip negatif yang sudah ada.

Namun, di sisi lain, kemunculan beberapa tokoh publik yang terbuka soal kesehatan mental mereka memberikan angin segar. Selebriti seperti Maudy Ayunda, Gading Marten, hingga aktivis dan influencer digital telah mulai menyuarakan pentingnya menjaga kesehatan jiwa, dan bahwa mencari bantuan profesional bukanlah tanda kelemahan, tetapi keberanian.

Tantangan dalam Akses dan Edukasi

Masalah lain yang memperkuat stigma adalah kurangnya akses terhadap layanan kesehatan jiwa. Di banyak daerah, terutama di luar kota besar, ketersediaan psikiater atau psikolog masih sangat terbatas. Berdasarkan data Kemenkes RI, hingga 2022 Indonesia hanya memiliki sekitar 1.200 psikiater untuk melayani lebih dari 270 juta penduduk. Ini belum termasuk hambatan biaya dan kurangnya informasi.

Edukasi juga masih menjadi tantangan. Banyak masyarakat yang belum tahu bedanya antara stres biasa, gangguan kecemasan, dan depresi klinis. Akibatnya, gejala yang seharusnya bisa ditangani sejak awal malah dibiarkan hingga memburuk.

Perubahan Perlahan tapi Pasti

Meskipun tantangannya besar, tanda-tanda perubahan mulai terlihat. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menggulirkan berbagai program promotif dan preventif terkait kesehatan jiwa, termasuk pelatihan bagi tenaga kesehatan di puskesmas. Sekolah-sekolah dan kampus juga mulai lebih terbuka dengan menghadirkan layanan konseling atau ruang diskusi tentang mental health.

Di tingkat komunitas, berbagai gerakan seperti Into the Light Indonesia, Bicarakan.id, dan kampanye di media sosial oleh para psikolog muda turut membantu menormalkan pembicaraan soal kesehatan mental.

Menuju Masyarakat yang Lebih Inklusif

Perubahan besar memang membutuhkan waktu, tetapi setiap langkah kecil tetap berarti. Menghapus stigma terhadap kesehatan mental bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau tenaga medis, tetapi seluruh elemen masyarakat.

Kita bisa mulai dari hal sederhana: mendengarkan tanpa menghakimi, membuka ruang diskusi yang aman, dan tidak menganggap remeh perasaan orang lain. Pendidikan sejak dini juga penting agar anak-anak tumbuh dengan pemahaman bahwa emosi adalah hal wajar dan bisa dikelola dengan sehat.

Penutup

Kesehatan mental di Indonesia memang masih dibayangi stigma, tapi perlahan-lahan mulai mendapatkan tempat yang semestinya. Perubahan budaya tidak bisa instan, namun dengan kolaborasi antara individu, komunitas, dan institusi, Indonesia bisa menjadi bangsa yang lebih peduli dan inklusif terhadap kesehatan jiwa.