Pada 11 Maret 2025, pihak berwenang menangkap mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, di Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila. Penangkapan ini dilakukan berdasarkan surat perintah dari International Criminal Court (ICC) yang menuduhnya melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait perang melawan narkoba selama masa jabatannya. Peristiwa ini menjadi pertama kalinya seorang mantan kepala negara Asia dihadapkan ke ICC.
Di Belanda, Sara Duterte menyampaikan kekhawatirannya bahwa ayahnya mungkin tidak dapat kembali ke Filipina dalam waktu dekat. Dia menyoroti lamanya proses peradilan di ICC serta kemungkinan Duterte menjalani penahanan selama proses berlangsung. Sara menegaskan bahwa keluarga akan terus memberikan dukungan penuh dan bekerja sama dengan tim hukum untuk melindungi hak-hak Duterte.
Rodrigo Tidak Akan Kembali ke Filipina
Penangkapan Rodrigo Duterte oleh ICC memicu berbagai reaksi di Filipina. Beberapa mantan pejabat dan sekutunya mengecam tindakan tersebut sebagai tidak sah, mengingat Filipina telah menarik diri dari keanggotaan ICC. Namun, Mahkamah Agung Filipina sebelumnya menetapkan bahwa negara tetap berkewajiban bekerja sama dengan ICC dalam kasus yang terjadi sebelum penarikan diri.
Presiden Filipina saat ini, Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr., belum memberikan pernyataan resmi terkait penangkapan tersebut. Hubungan politik antara keluarga Marcos dan Duterte telah menegang dalam beberapa bulan terakhir. Ketegangan ini semakin meningkat setelah Sara Duterte menghadapi proses pemakzulan akibat dugaan ancaman pembunuhan terhadap Presiden Marcos dan penyalahgunaan dana pemerintah.
Penangkapan Rodrigo Duterte oleh ICC serta pernyataan Sara Duterte tentang kemungkinan ayahnya tidak kembali ke Filipina mencerminkan tantangan kompleks negara itu. Filipina menghadapi dilema dalam menegakkan keadilan, menjaga kedaulatan, dan mempertahankan stabilitas politik di tengah dinamika internasional yang terus berkembang.